Rabu, 03 Juni 2009

PARIWISATA DI TANA TORAJA DI 1975


Gambaran Umum

Tana Toraja sebagai suatu wilayah dimana tinggal suku Toraja. Sebenarnya suku Toraja ini mendiami wilayah tidak hanya di kabupaten Tana Toraja saja, tetapi sampai sebelah Timur daerah Poso yang memaakai bahasa Baree (sebagai sebutan tidak), sebelah Barat mendiami daerah sebelah Barat Palu dan sebelah Selatan mendiami daerah yang disebut Kalumpang dengan bahasa Tae (untuk menyebut kata tidak) . Disamping itu masih ada suku Toraja yang berada di daerah pantai Timur Sulawesi Tengah yaitu daerah Bungku dan kepulauan Banggai.

Tetapi yang menjadi daerah survey team kuliah kerja Arsitektur dan Sosiologi Universitas Indonesia adalah suku Toraja yang mendiami hulu sungai Sa'dan dan terutama di dae rah sekitar Makale (ibukota Tana Toraja/ untuk kemudian disebut TATOR) dan Rantepao. Tator ini merupakan daerah pegunungan yang sangat indah dengan jurang, lembah dan bukit-bukit batu yang menonjol merupakan perpaduan yang serasi dengan Adat Istiadat Kebudayaan yang khas Toraja.

Dengan ke khasan keindahan alam, kebudayaan dan adat inilah yang menjadikan Kabupaten Tana Toraja direncanakan sebagai obyek Pariwisata yang sangat menarik, sehingga dalam konferensi PATA 1974 Tator merupakan obyek Pariwisata yang menarik disamping Bali dan Toba.

Arus turis atau wisatawan dalam atau luar negeri setelah konferensi PATA ternyata semakin meningkat, dimana pada tahun 1970 cuma 21 orang tetapi pada tahun 1974 meningkat menjadi 1.552 wisatawan.

Pada tahun 1975 sampai bulan Mei tercatat 320 wisatawan (lihat statistik Tourisme 1970-1975 ). Angka yang sangat menyolok setelah PATA ini membuat semacam harapan bahwa TATOR mempunyai potensi yang cukup baik untuk berkembang rnenjadi daerah pariwisata. Dan un tuk ini jelas memerlukan studi yang lebih teliti dan mendalam.

Kalau kita melihat angka touris bulanan dalan tahun 1974 terdapat loncatan angka yang menaik dari juni hanya 29 wisatawan, Juli 273 wisatawan, Agustus menjadi 452 wisatawan dan September turun menjadi 71 wisatawan.

Rupanya bulan Juli dan Agustus bertepatan dengan musim panas di Eropah dan Amerika yang biasanya merupakan musim liburan bagi wisatawan yang berminat (lihat tabel statistik bulanan tahun 1974).

Fasilitas/Sarana.

Fasilitas yang berupa sarana perhubungan antar obyek pariwisata satu dan lainnya yang berupa jalan rupanya belum banyak mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah. Jalan yang masih buruk dan pemeliharaan obyek wisatawan yang minim, disamping sarana angkutan yang berupa bus dan kendaraan yang sangat terbatas.

Demikian pula sarana Akomodasi yang terbatas seperti penginapan, wisma, hotel masih sangat sederhana untuk memenuhi persyaratan Dengan taraf nasional dan Internasional. Hanya wisma Bharana milik Pemda Sulawesi Selatan dan Wisma Hassanuddin milik Kodam XIII di Makale dan Wisma Maria di Rantepao yang cukup memenuhi syarat.

Sarana Akomodasi di Makale ada 5:

Wisma Hassanuddin milik Kodam XIII

Wisma Bharana milik Pemda Sulsel

Wisma Yani milik Swasta

Losmen Merry milik Swasta

Losmen Martha milik Swasta

Sedang di Rantepao ada kurang lebih 10 yang tercatat:

Wisma Maria milik Swasta

Wisma Martini milik Swasta

Wisma Pola milik Swasta

Wisma Malango milik Swasta

Penginapan Missliani milik Swasta

Penginapan Sarla milik Swasta

Penginapan Tanabua milik Swasta

Penginapan Merry milik Swasta

Penginapan milik Swasta

Penginapan milik Swasta

Dengan sarana akomodasi ini TATOR tidaklah dapat memenuhi semua permintaan yang kadang bulan tertentu melampaui yang disediakan. Karena itulah timbul penginapan tidak resmi di rumah penduduk dengan rumah adat asli Toraja (Tongkonen). Biasanya touris lebih senang tinggal di rumah penduduk karena tarif permalam relatif lebih murah (dengan makan antara Rp 500,- sampai dengan_ 1.500,-). Sedangkan di wisma, hotel dan sebagainya tarip dengan makan antara Rp 3.000,- - Rp 5.000,-. Walaupun menginap di rumah penduduk sudah nendapat laranqan dari Buuati selaku pemerintah.

Tetapi dalam prakteknya ini belum bisa diawasi. Disamping itu menginap di rumah penduduk itu merupakan kekawatiran Pemda dalam hal pengaruh negatif yang mungkin timbul. Pertanyaan yang timbul apakah daerah ini sudah siap menerima wisatawan dengan segala konsekwensinya?Kabupaten Tana Toraja ini mempunyai obyek wisata yang merupakan potensi komersiel dan dapat di kembangkan. Jumlahnya sebanyak 15 buah disamping desa-desa tertentu yang mempunyai keindahan alam dan upacara adat yang menarik.

Kelima belas obyek itu ialah:

1. Salubarani terletak di km 30 dari Makale

2. Makale sendiri

3. Lemo km 8 utara

4. Tilangga km 10 utara

5. Londa km 16 utara

6. Rantepao km 18 utara

7. Ke’te km 18 timurlaut

8. Batutumonga km 50 utara

9. Lokomata km 55 utara

10. Palawa km 32 utara

11. Marante km 24 Timur laut

12. Nanggala km 30 timur laut

13. Siguntu km 16 utara

14. Makula (air panas) km 16 Tenggara

15. Bone dan Buisia km 12 utara

Di lima belas obyek wisata inilah terletak ke khasan Toraja, seperti keindahan alam di Batutumonga, kuburan batu di Lemo , kuburan gua di Londa, perkampungan asli Toraja dengan rumah-rumah adatnya( Palawa, Ke’te dan sebagainya) , pemandian air panas di Makula serta tempat souvenir yang khas Toraja disekitar Rantepao dan Kota Rantepao sendiri.

Pelaksanaan Pariwisata

Pemerintah daerah Tana Toraja sebagai koordinator melalui dinas pariwisatanya merasakan belum mendapat manfaat dari hasil pariwisata, sekalipun setiap setiap wisatawan yang masuk dan mengunjungi obyek wisata dipungut bayaran Rp. 1000,-. hasil pariwisata ini tidak ada ½% pun untuk dapat menunjang APBD Tana Toraja yang besarnya 1,3 Milyard Rupiah (1975-1976), dimana Rp 800 juta merupakan bantuan pusat dan Rp 500 juta hasil pendapatan daerah.Dari sini bisa dinilai dan dimengerti mengapa pemerintah daerah masih sangat membatasi dan memperbaiki sarana dan fasilitas pariwisata, karena memang kemampuan Tator yang sangat terbatas, disamping belum merasakan manfaatnya. Tetapi jelas Tator ini mempunyai potensi pariwisata yang bisa berkembang.

Di dalam kebijaksanaan pemda Tator juga disamping prioritas utama pengembangan desa dan pertanian juga direncanakan pengembangan pariwisata yang akan disiapkan dengan bantuan Ditjen Pariwisata dan Pemerintah Pusat, dan sampai sekarang Pemda masih melakukan pembatasan yang ketat karena kekhawatiran akan akibat-akibat negatip dari derasnya arus tourisme.

Ada beberapa Travel Biro yang mengusahakan arus wisstawan mengalir ke Tana Toraja antara lain :

1. Travel Biro Pacto.

2. Travel Biro Universal

3. Travel Biro Nitour

4. Travel Biro Tunas Indonesia

5. Travel Biro Cinta Karya (Ujung Pandang).

Dalam rombongan kecil Travel Biro ini sering mengantar orang 4 sampai 8 orang perbulan, dan informasi yang dapat diperoleh untuk bulan ini akan dating 127 turis (22 September’75) bertepatan dengandiadakannya upacara di Ke’te, Pesu dan Ba’tan.

Masalah yanq timbul dari Pariwisata.

Upacara khas Toraja yang nerupakan percerminan asli Adat Kebudayaan Tator, adalah upacara Rambo Solo’ (Asap menurun) yang merupakan upacara duka/sedih seperti upacara kematian. Sedang upacara Rambu Tuka’ (Asap menaik) adalah upacara kegembiraan/suka seperti upacara Ma’ Bugi yang dilakukan setelah upacara panen padi sebagai upacara syukur pada dewa-dewa dengan tari-tarian yang disebut Tari Pagelo’.

Dua jenis upacara ini yang paling menarik minat para turis untuk datang ke Tator tetapi yang menarik sekali adalah upacara kematian seorang Puang di Makale (bangsawan) atau Tomakaka di Rantepao yang sampai memakan waktu berhari-hari, dengan pesta besar-besaran bisa memotong ternak sampai 600 ekor babi dan 200 ekor kerbau.

Penyelenggaraan pesta tradisionil ini bisa memakan biaya berjuta-juta rupiah, hal ini merupakan satu kontradiksi dengan keadaan nyata masyarakat Tator yang relatip masih rendah taraf hidup dan dan kemampuannya.

Hal tersebut memperlihatkan bahwa upacara-upacara itu bisa digolongkan sesuatu yang tidak produktip dan pemborosan yang sangat merugikan. Walaupun semua biaya dipikul secara gotong royong oleh masyarakat.

Ini jelas merupakan suatu masalah yang perlu dipikirkan, karena merupakan keadaan yang bertolak belakang. Disatu pihak Pemda ingin memajukan kehidupan rakyat dengan keluar dari tradisi yang merugikan dan tidak produktip, dilain pihak ada semacam keinginan agar terpeliharanya upacara tersebut dengan maksud komersil dan untuk dapat menarik wisatawan ke Tator yang mempunyai ke khasan itu.

Masalah lain yang masih memerlukan study yang lebih mandalam acalah apakah bidang Pariwata ini bisa dijadikan sektor yang produktif sebagai sumber dana sehingga bisa menunjang kelancaran sektor-sektor lain?.

Kemudian apakah sektor ini bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat luas Tana Toraja dan bukan hanya sebagian kecil pemilik modal yang bisa membuat Hotel, Restaurant, atau Toko-toko souvenir saja?.

Dalam pengamatan kami memang di obyek pariwisata ini tidak terdapat rakyat kecil yang menjajakan makanan, minuman atau souvenir yang khas Toraja, itu semua hanya bisa ditemui di took dan Restaurant Makale atau Rantepao dan bukan di desa dimana terdapat obyek Pariwisata atau upacara-upacara adat diadakan dan melihat upacara-upacara adat pun tidak dipungut bayaran alias gratis bagi para Turis. Hal ini jelas sangat merugikan.

Akhirnya yang menjadi kekawatiran mendalam adalah :

Jangan sampai masyarakat Tator ini atau Bangsa Indonesia umumnya hanya menjadi tontonan para Touris asing yang selalu menghendaki keaslian dan kekhasan kebudayaan, dengan membiarkan bangsa kita khususn'ya masyarakat Toraja ini terus menerus dan tetap tenggelam dalam alam tradisi serta adat yang merugikan .

Sebab hal tersebut jelas bertentanqan dengan tujuan Bangsa Indonesia, yang ingin mensejahterakan Bangsanya dan mencerdaskan serta memajukan kehidupan bangsa.

Karenanya pengembangan dunia pariwisata perlu dipikirkan masak-masak dan disesuaikan dengan kondisi situasi daerah dengan diadakan study dasar yang mendalam untuk dapat memperoleh gambaran yang lebih nyata dan kemampuan masyarakat sebenarnya.

Penutup.

Dilihat dari kekhasan keindahan alam, Adat Istiadat, dan Kebudayaan Tana Toraja ini memang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sektor Pariwisstanya.

Namun pengembangannya perlu dipikirkan dan direncanakan secara lebih teliti sesuai dengan tujuan bernegara dan bermasyarakat.

Semua ini jelas mengundang Pemerintah pusat untuk bisa ikut membantu/ terutama dalam fasilitas dan sarana jalan dan transportasi dalam pengembangan Pariwisata.

Gambaran dasar hasil penelitian ini jelas tidak berpretensi untuk bisa mewakili masalah Pariwisata seluruhnya di Tana Toraja namun setidaknya bisa merupakan gambaran awal untuk bisa dilanjutkan dengan study secara mendalam dan teliti dikemudian hari.

Masalah Pariwisata:

Sarana jalan.

Jalan-jalan raya yang menuju obyek obyek wisata umumnya dalam kondisi jelek. hal ini tentunya menghambat mekanisme perekonomian dan transportasi penduduk setempat.


Penginapan.

Sebaiknya tetap dipertahankan lokasinya berada dikota Makale dan Rantepao saja, karena hal ini membantu mengurangi pengaruh negatif yang mungkin timbul dari wisatawan asing khususnya.

Restaurant , Toko Souvenir.

Restaurant yang memadai kurang banyak, terutama yang berlokasi dikota. Toko souvenir cukup memadi di kta rantepao, hanya berlokasi ditempat wisata perlu dibuat tempat khusus sehinga tidak mengganggu obyek wisatanya.


Transportasi.

Untuk menuju ke obyek2 wisata perlu disediakan kendaraan. Tidak perlu setiap hari, tapi cukup padfa hari tertentu saja. Hal ini akan memudahkan wisatawan yang datang tidak dengan rombongan.


Obyek-obyek wisata.


Untuk obyek hidup seperti upacara kematian dan sebagainya, sebaiknya ruang gerak wisatawan asing dibatasi. Hal ini untuk menjaga keutuhan kebudayaan Toraja dari pengaruh negatif yang mungkin timbul. Sebab dalam upacara biasanya terjadi kontak langsung dengan penduduk.


Bagi obyek wisata yang baik, yang hidup maupun yang statis ( kuburan batu) perlu disediakan guide untuk memberikan penjelasan-penjelasan.



Dikutip dari ;Laporan Kuliah Kerja Toraja 1975
Mahasiswa : Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Ilmu Sosial Universitas Indonesia .
( Agus Adhi, Agus Mulia, Budiono Busyaeri, Saptono Istiawan, Diniari, Alm.Wahyu Sardono ( Dono warkop), Hedi Nursalin Silaban, Listyo Sumantri, Siti Joko, Julizar Amran Abdi, Adhika Bhayangkari, Ronald Londam Tambun, Budi Adelar Sukada, Haryono, Djoko Suryono, Andy Widjaja, Sugianto Lohanda, Azrar Hadi, Robert Lawang, Seniwono Hanifa, Prof . Dipl. Ing Suwondo BS, Prof Valerine, SH, Ir. Yan Ciptadi. Peserta tamu: alm. ibu Wancin Suwondo dan Maruto Suwondo)

MENGENAI KULIAH KERJA TORAJA FAKULTAS TEKNIK- FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA 1975




LATAR BELAKANG:

1. Kuliah Kerja adalah bagian yang integral dari kurikulum pada Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Program ini merupakan suatu kewajiban bagi setiap mahasiswa yang sudah duduk di tingkat III. Tidak seperti kurikulum yang lain, kuliah kerja dilakukan langsung di lapangan, Kuliah kerja juga harus dibedakan dengan pengertian kerja praktek dimana mahasiswa banyak belajar hal-hal yang bersifat praktis. Dalam kuliah kerja mahasiswa belajar melalui :
- pengamatan/penghayatan terhadap obyek - analisa
- pengukuran, sketsa, wawancara - kesimpulan
- diskusi
Dengan tahapan2 ini mahasiswa dibawa untuk melihat dan berfikir tentang lingkungan hidup yg sudah ada, dimulai dari proses terjadi sampai kemungkinan pengembangannya. Kuliah kerja di-harapkan dapat memberikan penghayatan akan suatu lingkungan hidup dengan masalahanya, terutama kebutuhan akan ruang.

2. Tana Toraja merupakan suatu lingkungan hidup dimana tinggal suku Toraja. Sejak lama kita tahu bahwa disana banyak hal yang menarik & khas. Hingga Tana Toraja merupakan salah satu obyek wisata yang terkenal di Indonesia. Kebudayaan suku Toraja setelah sekian lama berjalan, membuahkan hasil yang khas. Kekhasan itu tidak saja terletak pada hakekatnya sen-diri, tetapi juga pada bagaimana suku Toraja dapat mempertahankan nilai2 budayanya dalam abad modern ini, Salah satu hasil kebudayaan suku Toraja ialah rumah adatnya. hal yang menarik untuk dipelajari padanya.
Mulai dari bagaimana pertama kali suku Toraja memenuhi kebutuhannya akan ruang sampai akhirnya terbentuk rumah adat yang demikian unik & khas.
Atas pertimbangan itu rumah adat Toraja dijadikan salah satu bagian dari obyek kuliah kerja ini, disamping lingkungan hidupnya yang menjadi obyek pokok.
3. Untuk mencapai hasil yang lengkap dan seimbang kuliah kerja ini mempelajari lingkungan secara sosiologis. Arsitektur sebagai cermin suatu kebudayaan sudah sepantasnya amati pula oleh para sosiolog. Dalam realisasinya diadakan kerjasama interdisipliner dengan mahasiswa2 jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu-ilirm Sosial Universitas Indonesia. Begitu juga jalan dengan kerjasama itu ditandatangani suatu bentuk kerjasama dengan Direktorat Tata Kota & Daerah Departemen PUTL. Kerjasama tersebut menyangkut bantuan untuk mencari data-data dalam rangka pengembangan daerah Sulawesi umumnya dan Tana Toraja khususnya melalui sektor pariwisata.
4. Kuliah kerja mahasiswa Arsitektur 1975 ke Tana Toraja dapat terlaksana adanya pengerahan pikiran dan dana yang besar. Semua ini dicapai baik dengan kerjasama antara unsur2 Universitas Indonesia maupun berkat bantuan berbagai pihak di luar Universitas, baik di Jakarta maupun di Toraja. Panitia Kuliah Kerja Toraja 1975 cukup menyadari bahwa tanpa adanya bantuan bantuan itu, kuliah kerja ini sukar kemungkinannya untuk terlaksana. Sehubungan dengan itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang besar kepada semua pihak yang telah membantu. Mudah2-an hubungan yang sudah terjalin dapat terpelihara untuk masa mendatang. Akhirnya harapan kami semoga hasil kuliah kerja Toraja 1975 ini akan berguna be mahasiswa, bangsa, dan negara.

UCAPAN TERIMA KASIH:

Presiden RI Haji Muhammad Suharto
Direktorat Tata Kota & Daerah Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PUTL.
BINA GRAHA.
Bapak Letnan Jenderal A.J. PITONO
 SESDALOBANG bp. Bardosono.
 Gubernur KDH I Sulawesi Selatan Prof. DR. Amirudin.
Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tana Toraja, Bapak A.Y. ANDI LOLO
Ibu Profesor P.O. Ichromi
Bapak Drs. Sulaiman
Bapak Kila B.A.
Staff Pemda Kabupaten Tana Toraja
Masyarakat Tana Toraja
Badan Urusan Logistik  Bustanil Arifin
P.T. Perrbangunan Jaya
P.T. Perencana Jaya
P.T. Widya Pertiwi Engineering
P.T. Kimia Farma
Merpati Nusantara Airlines
Direktorat Jenderal Pajak
Direktorat Jenderal Bea & Cukai
P.T. Ideco Utama
dan Semua pihak yang telah turut membantu



PESERTA:



Agus Adhi,
Agus Mulia,
Budiono Busyaeri,
Rosa Diniari,
Alm.Wahyu Sardono,
Hedi Nursalin Silaban,
Listyo Sumantri,
Siti Joko,
Julizar Amran Abdi,

Adhika Bhayangkari,
Ronald Londam Tambun,
Budi Adelar Sukada,
Haryono,
Djoko Suryono,
Andy Widjaja,

Sugianto Lohanda,
Azrar Hadi,
Robert Lawang,
Saptono Istiawan,
Seniwono Hanifa,

DOSEN PEMBIMBING :

Prof . Dipl. Ing Suwondo BS,
Prof Valerine, SH,
Ir. Yan Ciptadi.


Peserta tamu:

alm. ibu Wancin Suwondo
dan Maruto Suwondo


Sabtu, 23 Mei 2009

RAMBU SOLOK = ASAP TURUN


foto Yan Ciptadi

to na indanriki' lino
to na pake sangttu
kunbai lau' ri puyo
pa' tondokan marendeng

Kita ini hanya pinjamaan dunia
Yang hanya dipakai se sa'at
Sebab di Puyo lah negeri kita yang kekal
Disana pulalah akhir perjalanan hidup yang sesungguhnya


We are only world's loan
To be used only for a moment
For there in Puyo is our eternity
And the real destination of our journey of life as well

Menurut kepercayaan orang Toraja, manusia hanya hidup sementara di bumi ini dan hanya sebagai suatu bagian dari perjalanan hidup. Tujuan akhirnya adalah Puyo .

Namun setelah meninggal, tidak segera seseorang mencapai Puyo kecuali setelah melalui suatu rentetan upacara yang disebut Rambo Solok ini.

Sementara menunggu upacara itu roh almarhum mewujudkan diri sebagai Tomebali Puang yang selalu meperhatikan kehidupan keturunannya. ( sumber KOMPAS 3 November 2003 halaman 35)


foto:Yan Ciptadi

Kuburan Tebing Batu di Lemo
....torro ko torro ko na kena batitong...


Lakkien , tempat sementara bagi Duba-duba

Duba duba , Bingkisan Jenazah

Rante , Tempat upacara Rambu Solok

Duba- duba

Ma'katia ( Melantunkan Kidung Duka Cita)Ma' Pasonglo ( mengarak duba duba )Mangissi lantang

( Kerabat berdatangan )
relatives were coming in
Persiapan Ma'badong (Kidung duka)
Ma'katiaTomeballi Puang
( Pewujudan setengah dewa dari roh yang belum di upacarakan)
Demi god representing the unceremonied soulPersiapan Ma' pasilaga ( adu kerbau).
Istilah lain sehubungan dengan kerbau:
tedong bunga = kerbau bulai.
kerbau salepo = kerbau bulai dengan bercak bercak hitam
lontong boke = kerbau bulai berpunggung hitam
ma' tingoro tedong = menyembelih kerbau dengan sekali tebas.

Ma' Pasonglo ( mengarak duba duba)Ma' pasonglo
2 helai kain merah panjang didepan duba duba adalah lamba- lamba yang ditarik oleh kerabat wanita.
Proccesion of The Remain
Ma' badong dan ma' katia didepan salah satu lantang ( bangunan sementara untuk para tamu)( Ma' badong and ma' katia Singing Hymn of sorrow and grief in front of one of lantangs = temporary buildings to accomodate guests)
Foto foto : saptono , kecuali disebut lain

Lihat lebih jauh : http://liburan.info/content/view/417/43/

Film terbaru ( 30 April 2010):

Mengenai kerbau bule :
lihat lagi :

Dikutip dari ;Laporan Kuliah Kerja Toraja 1975 Mahasiswa : Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Ilmu Sosial Universitas Indonesia .

( Agus Adhi, Agus Mulia, Budiono Busyaeri, Saptono Istiawan, Diniari, Alm.Wahyu Sardono ( Dono warkop), Hedi Nursalin Silaban, Listyo Sumantri, Siti Joko, Julizar Amran Abdi, Adhika Bhayangkari, Ronald Londam Tambun, Budi Adelar Sukada, Haryono, Djoko Suryono, Andy Widjaja, Sugianto Lohanda, Azrar Hadi, Robert Lawang, Seniwono Hanifa, Prof . Dipl. Ing Suwondo BS, Prof Valerine, SH, Ir. Yan Ciptadi. Peserta tamu: alm. ibu Wancin Suwondo dan Maruto Suwondo)

Jumat, 22 Mei 2009

SEJARAH PERKEMBANGAN RUMAH ADAT SUKU TORAJA

ASAL USUL SUKU TORAJA


Suku Toraja yang ada sekarang ini bukanlah suku asli, tapi merupakan suku pendatang. Menurut kepercayaan atau mythos yang sampai saat ini masih dipegang teguh, suku Toraja berasal dari khayangan yang turun pada sebuah pulau Lebukan.
Kemudian secara bergelombang dengan menggunakan perahu mereka datang ke Sulawesi bagian Selatan. Di pulau ini mereka berdiam disekitar danau Tempe dimana mereka mendirikan perkampungan. Perkampungan inilah yang makin lama berkembang menjadi perkampungan Bugis. Diantara orang-orang yang mendiami perkampungan ini ada seorang yang meninggalkan perkampungan dan pergi ke Utara lalu menetap di gunung Kandora, dan di daerah Enrekang. Orang inilah yang dianggap merupakan nenek moyang suku Toraja.
Sistim pemerintahan yang dikenal di Toraja waktu dulu adalah sistim federasi. Daerah Toraja dibagi menjadi 5 (lima) daerah yang terdiri atas :
1. M a k a l e
2. Sangala
3.Rantepao
4. Mengkendek
5. Toraja Barat.
Daerah-daerah Makale, Mengkendek, dan Sangala dipimpin masing-masing oleh seorang bangsawan yang bernama PUANG. Daerah Rantepao dipimpin bangsawan yang bernama PARENGI, sedangkan .dae rah Toraja Barat dipimpin bangsawan bernama MA'DIKA.
Didalam menentukan lapisan sosial yang terdapat didalarn masyarakat ada semacam perbedaan yang sangat menyolok antara daerah yang dipimpin oleh PUANG dengan daerah yg dipimpin oleh PARENGI dan MA'DIKA. Pada daerah yang dipimpin oleh PUANG masyarakat biasa tidak akan dapat menjadi PUANG,. sedangkan pada daerah Rantepao dan Toraja Barat masyarakat biasa bisa saja mencapai kedudukan PARENGI atau MA'DIKA kalau dia pandai. Hal inilah mungkin yang menyebabkan daerah Rantepao bisa berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan yang terjadi di Makale.

Kepercayaan.
Di Tana Toraja dikenal pembagian kasta seperti yang terdapat didalam agama Hindu-Bali. Maka mungkin karena itulah sebabnya kepercayaan asli suku Toraja yaitu ALUKTA ditetapkan pemerintah menjadi salah satu sekte dalam agama Hindu Bali. Kasta atau kelas ini dibagi menjadi 4 (empat) :
1. Kasta Tana' Bulaan

2. Kasta Tana' Bassi1.

3. Kasta Tana’Karurung

4. Kasta Tana' Kua-kua

Adat Istiadat.

Toraja sangat dikenal dengan upacara adatnya. Didalam menjalankan upacara dikenal 2 ( dua ) macam pembagian yaitu:

Upacara kedukaan disebut Rambu Solok.
Upacara ini meiiputi 7 (tujuh) tahapan, yaitu :
a. Rapasan
b. Barata Kendek
c. Todi Balang
d. Todi Rondon.
e. Todi Sangoloi
f. Di Silli
g. Todi Tanaan.

Upacara kegembiraan disebut Rambu Tuka.
Upacara ini juga meliputi 7 (tujuh) tahapan, yaitu
a. Tananan Bua’
b. Tokonan Tedong
c. Batemanurun
d. Surasan Tallang
e. Remesan Para
f. Tangkean Suru
g. Kapuran Pangugan
Karena mayoritas penduduk suku Toraja masih memegang teguh kepercayaan nenek moyangnya (60 %) maka adat istiadat yang ada sejak dulu tetap dijalankan sekarang. Hal ini terutama pada adat yang berpokok pangkal dari upacara adat Rambu Tuka’ dan Rambu Solok. Dua pokok inilah yang merangkaikan upacara-upacara adat yang masih dilakukan dan cukup terkenal. Upacara adat itu meliputi persiapan penguburan jenazah yang biasanya diikuti dengan adu ayam, adu kerbau, penyembelihan kerbau dan penyembelihan babi dengan jumlah besar. Upacara ini termasuk dalam Rambu Solok, dimana jenazah yang mau dikubur sudah di simpan lama dan nantinya akan dikuburkan di gunung batu. Akan hal tempat kuburan ini, suku Toraja mempunyai tempat yang khusus., Kebiasaan mengubur mayat di batu sampai kini tetap dilakukan meskipun sudah banyak yang beragama Katholik, Kristen. Hanya yang sudah beragama Islam mengubur mayatnya dalam tanah sebagaimana lazimnya. Seluruh upacara dalam rangkaian penguburan mayat ini memerlukan biaya yang besar. Itu ditanggung oleh yang bersangkutan disamping sumbangan-sumbangan. Besar kecilnya upacara mencerminkan tingkat kekayaan suatu keluarga. Kriterianya diukur dari jumlah babi dan kerbau yang dipotong disamping lamanya upacara. Untuk kaum bangsawan upacara itu sampai sebulan dan hewan yang dipotong mencapai ratusan. Belum lagi biaya (lainnya) yang banyak, sekalipun dirasakan berat tetapi lambat laun dari masalah adat telah berubah menjadi masalah martabat.



PERKEMBANGAN RUMAH ADAT TORAJA




Rumah Adat Suku Toraja mengalami perkembangan terus sampai kepada rumah yang dikenal sekarang ini. Perkembangan itu meliputi penggunaan ruangan, pemakaian bahan, bentuk, sampai cara membangun. Sampai pada keadaannya yang sekarang rumah adat suku Toraja berhenti dalam proses perkembangan. Sekalipun begitu, sejak asalnya rumah adat ini sudah punya ciri yang khas. Ciri ini terjadi karena pengaruh lingkungan hidup dan adat istiadat suku Toraja sendiri. Seperti halnya rumah adat suku-suku lain di Indonesia yang umumnya dibedakan kare­na bentuk atapnya, rumah adat Toraja inipun mempunyai bentuk atap yang khas. Memang mirip dengan rumah adat suku Batak, tetapi meskipun begitu rumah adat suku
Toraja tetap memiliki ciri-ciri tersendiri.
1. Pada mulanya rumah yang didirikan masih berupa semacam pondok yang diberi nama Lantang Tolumio. Ini masih berupa atap yang disangga dangan dua tiang + dinding tebing (gambar 1).
2. Bentuk kedua dinamakan Pandoko Dena. Bentuk ini biasa disebut pondok pipit karena letak-nya yang diatas pohon. Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4 pohon yang berdekatan dan berfungsi sebagai tiang. Hal pemindahan tempat ini mungkin disebabkan adanya gangguan binatang buas (gambar 2) .

3. Perkembangan ketiga ialah ditandai dengan mulainya pemakaian tiang buatan. Bentuk ini memakai 2 tiang yang berupa pohon hidup dan 1 tiang buatan. Mungkin ini disebabkan oleh sukarnya mencari 4 buah pohon yang berdekatan. Bentuk ini disebut Re'neba Longtongapa (gambar 3).

4. Berikutnya adalah rumah panggung yang seluruhnya mempergunakan tiang buatan. Dibawahnya sering digunakan untuk menyimpan padi (paliku), ini bentuk pertama terjadinya lumbung. (gambar 4) .

5. Perkembangan ke~5 masih berupa rumah pangqung sederhana tetapi dengan tiang yang lain. Untuk keamanan hewan yang dikandangkan dikolong rumah itu. tiang-tiang dibuat sedemikian ru pa sehingga cukup aman. Biasanya tiang itu tidak dipasang dalam posisi vertikal tetapi merupakan susunan batang yang disusun secara horisontal (gambar 5).

6. Lama sesudah itu terjadi perobahan yang agak banyak. Perubahan itu sudah meliputi atap, fungsi ruang dan bahan. Dalam periode ini tiang-tiang kembali dipasang vertikal tetapi dengan jumlah yang tertentu. Atap mulai memakai bambu dan bentuknya mulai berexpansi ke depan (menjorok). Tetapi garis teratas dari atap masih datar. Dinding yang dibuat dari papan mulai diukir begitu juga tiang penyangga. Bentuk ini dikenal dengan nama Banua Mellao Langi, (Gambar 6).

7. Berikutnya adalah rumah adat yang dinamakan Banua Bilolong Tedon (Gambar 7). Perkembangan ini terdapat pada Lantai yang mengalami perobahan sesuai fungsinya.

8. Pada periode ini hanya terjadi perkembangan pada lantai dan tangga yang berada di bagian depan (gambar 8).

9. Pada periode ini letak tangga pindah ke bawah serta perubahan permainan lantai (gambar 9)

10. Banua Diposi merupakan nama yang dikenal untuk perkembangan kesembilan ini. Perubahan ini lebih untuk menyempurnakan fungsi lantai (ruang). (gambar 10).

11. Berikutnya adalah perobahan lantai yang menjadi datar dan ruang hanya dibagi dua.
Setelah periode ini perkembangan selanjutnya tidak lagi berdasarkan adat, tetapi lebih banyak karena persoalan kebutuhan
akan ruang dan konstruksi. Bagitu juga dalam penggunaan materi mulai dipakainya bahan produk mutakhir, seperti seng, sirap, paku, dan sebagainya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan yang terakhir merupakan puncak perkembangan dari rumah adat Toraja.

( berikut adalah contoh-contoh) RUMAH ADAT.

( contoh 1)

Nama Tempat : Garampak
Kampung : Marinding
D e s a : Kandora
Kecamatan : Mengkendek


1. Gambaran Umum.
Di kampung ini terdapat 3 rumah adat, 2 lurnbung dan 1 rumah tinggal biasa. Ketiga rumah adat itu yang satu merupakan rumah lama dan ditinggali oleh penghuninya, yang satu dalam rekonstruksi dan yang sebuah lagi dalam taraf pembangunan. Dalam peninjauan ini lebih dikhususkan pada rumah yang dikonstruksi yang menurut keterangan, dibuat kira-kira 100 tahun yang lalu.


2. Tata Letak.
Semua rumah mnghadap ke Utara, karena ada kepercayaan bahwa Utara merupakan lambang kehidupan. Sedang arah Selatan darimana timbul kehidupan (kelahiran) merupakan tujuan kemana setiap insan akan pergi (kenatian). Letak lumbung di karnpung ini tidak dapat tepat di depan rumah, lebih tepatnya agak disamping.


3. Perencanaan.
Direncanakan oleh tukang-tukang dan keluarga yang akan menempati rumah dengan dibantu beberapa tukang ukir. Cara pelaksanaan dengan sistim gotong-royong rakyat setempat.


a. Pembagian ruangan.
Ruangan rumah dibagi atas tiga bagian, dengan urutan dari Utara ke Selatan.
Ruang I : SALI, teimpat duduk, ruang tamu, entrance, dapur, termpat tidur anak,
Ruang II : INAN TENGA (SALI TENGA) , tempat tidur orang tua, ruang makan.
Ruang III: SUMBUNG, tempat tidur orang tua (nenek) dan orang-orang terhormat.


b. Ruangan-ruangan terletak dibagian atas rumah (panggung). Sedang dibagian bawah (kolong) dengan tiang-tiang merupakan kandang kerbau. Kandang babi terbuat terpisah dari rumah adat.
c. Fasilitas kamar mandi dan WC tidak ada, begitu juga dengan tempat cuci. Untuk keperluan ini penghuni harus pergi ke sungai terdekat.
d. Tangga masuk pada rumah adat ini banyak nengalami perubahan mulai letak di depan di kolong, sampai di samping. Pada rumah adat di desa ini tangganya berada di depan.

4. Struktur.
Struktur rumah terbuat dari kayu, keseluruhan elemennya saling kait mengkait sehingga menjadi kesatuan yang kaku dan berdiri diatas tiang-tiang. Tiang menumpu pada pondasi-yang berupa sebuah batu alam sebagai tumpuan tiang.
Konstruksi bangunan ini adalah tahan gempa & angin dalam arti kata tidak runtuh. Sebab seluruh bagian merupakan satu kesatuan yang diletakkan diatas batu begitu saja.
Untuk bangunan yang ditinjau ini tiangnya 9 buah termasuk Tulak Somba. Selebihnya adalah tiang pembantu yang dihubungkan dengan kasta-kasta ( menggambarkan struktur sosial Tana Toraja) Adapun stratifikasi sosial Tana Toraja yang berhubungan dengan rumah adat ialah :
- Tana Bulaan ( bulaan = emas ) jumlah tiang rumah 29 buah
- Tana Besi Jumlah tiang rumah 27 buah
- Tana Karuru ( Karuru = ijuk ) jumlah tiang rumah 25 buah
- Tana Kua-Kua ( Kua = tebu ) jumlah tiang rumah 23 buah.

5. Konstruksi.
a. materi bangunan.
hampir keseluruhan menggunakan bahan kayu. dimulai dari balok tiang, papan untuk dinding dan lantai. Untuk alas runah (pondasi) digunakan batu.
Jenis kayu yang digunakan tergantung dari persediaan. Jenis itu umumnya kayu Bunga, kayu Buangin (cemara) , kayu Kalapi/ Nangka, Cendana, kayu Beringin.

b. cara penyambungan
Untuk atap menggunakan sistim ikat (dengan rotan) dan jepit. Untuk balok-balokbanyak menggunakan sistim pen.

c. Atap.
Bahan dari bambu yang dibelah dan dirangkai menjadi bidang-bidang. Pengikat menggunakan rotan dan diantara lapisan bambu diberi ijuk. Untuk hubungan dipakai bambu belah-belah.


d. Dinding.
Menggunakan bahan papan yang biasa.nya penyelesaiannya diukir dibagian luarnya.

e. Tiang.
Dari balok yang raasih berupa pohon yang hanya diperhalus sedikit, lalu ditaruh begitu saja diatas batu.
f. Penyelesaian.
Untuk ukir-ukiran dicat yang dipakai ialah tanah merah + tuak, arang + cuka + air.
g. Lantai.
Dari papan, balok kecil yang dipasang saling bersilangan ditambah anyaman kayu.
h. Cara pembuatan.
Untuk mengukur kedataran (rata) dipakai perkiraan sejajar permukaan air. Untuk mengukur arah tegak dipergunakan pertolongan tali.
6. Kandang babi.
Bangunan sederhana dengan konstruksi bambu.
7. Lumbung.

Konstruksi sama dengan rumah, tapi strukturnya berbeda dan lebih sederhana. Jumlah tiang lebih sedikit dan tidak memakai tulak somba. Tiang biasanya berjumlah 4 atau 6 buah.

8. Ornamen/Hiasan bangunan.
Ornamen (hiasan bangunan) yang terdapat pada rumah-rumah adat sebagian besar mempunyai arti. Arti ini biasanya berhubungan dengan adat istiadat yang masih diipertahankan. Disamping itu ada pula yang hanya merupakan hiasan saja, misalnya :
Sumbang dan Katombe yang merupakan sirip-sirip kayu berukir pada tiap-tiap sudut rumah adat.
Ornamen (hiasan) ini dibagi dalam beberapa macam ornamen, masing-masing ialah :
a. Ornamen binatang
Kerbau, sebagai binatang yang sering disembelih dalam upacara-upacara, bagian- bagian badannya banyak dipergunakan untuk ornamen. Misalnya tanduk, kepala ( tiruannya). Selain itu motif kerbau juga ada dalam ukiran di dinding papan rumah adat. Kepala kerbau ( tiruan dari kayu ) biasanya dipasang pada ujung-ujung balok lantai bagian depan (pata sere).
Tanduk kerbau disusun pada tiang yang utama (tulak- sonba) artinya menyatakan jumlah generasi yang pernah tinggal di rumah adat itu.
Ayam jantan, sebagai lambang Kasta Tana’ Bulaan (kasatria) diukirkan pada bagian depan/belakang rumah, juga dipintu-pintu.

Babi, sebagai lambang binatang sajian.
b. Ornamen Senjata.
Keris dan pedang, diukirkan sebagai lambang Kasta Tana Bulaan (kasatria).
c. Ornamen Tumbuh-tumbuhan.
Daun Sirih, bunga, diukirkan pada tiang utama tulak somba, rinding (dinding), langit-langit lumbung sebagai ruang tamu, juga di pintu-pintu.
Ornamen ukiran kayunya menggunakan kayu URU. Ornamen ini diukir dulu baru dipasang di tempat. Penyelesaian ukiran biasanya dengan zat pewarna yang dibikin dari tanah +tuak atau arang + cuka + air.


( contoh 2)


Nama desa: Sarira
Kecamatan: Makale
Kabupaten: Tana Toraja

Pembahasan Umum :
Di desa ini, seperti juga kebanyakan di tempat lain di Tana Toraja, banyak menggunakan kayu URU. Adapun alasannya antara lain : relatif tahan lama, mudah didapat di tempat tersebut, cukup mudah untuk diukir.
Di desa ini terdapat rumah adat yang dalam proses penggantian atap dari atap bambu menjadi atap seng.Penggantian ini disebabkan atap yang lama sudah busuk (rusak) atau bocor. Penggunaan materi seng adalah gejala masuknya hasil teknologi modern yang terlihat nyata. Dengan materi ini pula bersamaan masuknya beberapa alat modern pada rumah adat itu. Misalnya mulainya penggunaan paku dan sebagainya. Begitu juga dengan sendirinya konstruksi atap mengalami perubahan yang cukup banyak, sekalipun tidak prinsipil. Banyak alasan tentang penggunaan mate­ri seng ini yang pada dasarnya bersifat praktis, seperti :
- lebih cepat dalam pembangunannya
- lebih murah, karena menggunakan jumlah kayu lebih sedikit (ekonomis)
Disamping alasan-alasan praktis itu sebenarnya tidak disadari akibat yang timbul karenanya. Salah satu efek negatifnya ialah expresi tradisionilnya hilang. Sebab atap yang merupakan hampir setengah bagian bangunan, mempunyai permukaan bidang yang cukup besar. Kalau ditinjau dari segi kekuatan bambulah yang lebih kuat. Karena bambu dapat tahan kira2 sarapai 40 tahun. Relatif cukup lama dibandingkan seng, sebab dalam prakteknya bambu ini ditumbuhi tumbuh2-an yang melindungi dari sinar matahari atau hujan.

( contoh 3)
Nama tempat :halaman Teuru
Kampung :Berurung
Desa :Sesean Mataallo
Kecamatan :Sesean
Kabupaten :Tana Toraja
1. Pembahasan Umum.
Menurut keterangan penduduk setempat rumah-rumah adat di kampung ini sudah berusia kira-kira 50 tahun. Ada rumah yang sudah diganti atapnya sekalipun menggantinya dengan bambu juga. Tetapi satu hal yang menyolok dikampung ini ialah dibangunnya dapur disamping rumah adat yang berbentuk model rumah Bugis. Bangunan induk mulai dibuat jendela-jendela kaca untuk mendapatkan sinar lebih banyak. Satu lagi efek tak menguntungkan terhadap kepribadian rumah adat Tana Toraja.
Tiap rumah di kampung ini ditinggali oleh satu keluarga. Urutannya dimulai dibagian Timur untuk Bapak & Ibu berikutnya mengikuti ketinggian tanah adalah rumah-rumah untuk anak.
Seperti di tempat lain di Toraja, di desa inipun lumbung merupakan lambang kekayaan. Semakin banyak jumlah lumbung semakin kaya penghuninya.


(contoh 4)
Nama Kampung : Tondok batu
Desa : Tondon
Kecamatan : Sanggalangi
Kabupaten : Tana Toraja
Kampung Tondon Batu terletak di desa Tondon yang lokasinya berada di bagian Timur Kota Rantepao. Kampung ini merupakan kelompok rumah-rumah adat yang tidak besar, karena di sini hanya terdapat 4 tongkonan (rumah adat).
Sekalipun begitu satu keistimewaan rumah adat di kampung ini ialah adanya rumah adat yang berumur kira-kira 200 tahun dan sudah berganti atap sampai 3 kali. Dalam waktu yang sekian lama rumah adat itu masih berdiri dengan baik, artinya masih berfungsi sebagai tempat tinggal, Disamping itu di kampung ini terlihat adanya pengaruh bentuk runah Bugis. Juga mengenai bentuk lumbung-lumhung disini umumnya mempunyai panjang tiang yang lain, yang lebih panjang. Jadi secara tampak, lumbung-lumbung itu terlihat lebih tinggi daripada yang umumnya ada.
( contoh 5)
Nama kampung : Kondok
Nama Desa : Tondon
Kecamatan : Sangalangi
Kabupaten : Tana Toraja

Pembahasan Umum
Kampung Kondok letaknya tidak begitu jauh, masih di Kecamatan Sanggalangi juga Kampung ini sebenarnya tidak begitu besar karena jumlah penghuninya hany 4 keluarga. Dalam peninjauan ke kampung ini lebih ditekankan kepada penelitian konstruksinya, Sebab kebetulan sedang ada penggantian atap & lantai. Biasanya dalam penggantian atap ini selain lantai diikuti juga dengan penggantian dinding (ukiran). Hanya tiang-tiang yang utama yang tetap tidak diganti.

Dalam peninjauan ke kampung ini sempat ditanyakan sekitar harga rumah. Sekalipun patokannya bukan uang, tapi jika dikalkulasikan harganya cukup mahal juga. Seperti misalnya:
- penggergajian kayu upahnya 3 (tiga) kerbau
- mendirikan upahnya 4 (empat) kerbau
- mengukir 1 (satu) kerbau
- finishing 100 (seratus) babi.

Harga-harga ini belum termasuk harga dari pembelian kayu sendiri, yang dinilai cukup mahal. Tetapi biasanya untuk kayu ini mereka ambil dari kebun sendiri.
(contoh 7)
Nama Kampung Kampung Kecamatan Kabupaten
Pembahasan Umum.
Nama kampung : Marante
Nama Desa : Tondon
Kecamatan : Sanggalangi
Kabupaten : Tana Toraja
Kampung Marante terletak di bagian Utara dari Kabupaten Tana Toraja. Letak Kampung ini agak masuk kira-kira 50 meter dari jalan raya. Merupakan satu kelompok rumah adat Toraja yang cukup besar. Dibagian belakang kelompok ini terdapat kelompok kecil yang merupakan perkembangan dari kelompok kampung Marante.
Di dalam kelompok rumah-rumah adat di kampung ini terdapat juga 2(dua) rumah model Bugis yang letaknya terselip diantaranya. Kedua rumah Bugis ini rupanya dibangun paling belakangan dengan pertimbangan hal yang lebih fungsionil. Dilihat dari segi kesehatan rumah Bugis ini lebih baik, karena banyak mempunyai lubang untuk jendela. Sehingga memungkinkan adanya sinar masuk dan ventilasi udara.
Seperti di tempat lain di kampung Marante inipun letak lumbung berhadapan dengan rumah-rumah adat. Jadi biasanya jumlah rumah sama dengan jumlah lumbung.
Adapun jumlah rumah ada : 7 (tujuh) buah, jumlah lumbung : 9 (sembilan), jumlah rumah Bugis 2 (dua), jumlah kandang babi : 7 (tujuh) buah, jumlah dapur : 5(lima). Jumlah dapur ini yang 2 masing-masing menempel pada rumah Bugis sedang yang 3 menempel pada rumah adat. Kandang babi umumnya terletak dibagian belakang dari rumah adat.

(Contoh 8)
Nama Kampung :Palawa
Nama Desa :Pangli Palawa :Sesean
Kabupaten :Tana Toraja

Pembahasan Umum
Letak Kampung ini berada disebelah Utara kota Rentepao, Lokasi perkampungannya cukup jauh dari jalan raya, kalaupun ada jalan masuk jalan itu sempit dan jelek sekali keadaannya. Pada jalan ini banyak terdapat rumah adat yang dibangun sendiri-sendiri, artinya bukan merupakan satu kelompok. Rumah-rumah ini umumnya dibangun pada waktu belakangan, hal ini terlihat atapnya yang banyak menggunakan seng dan bermoncong tinggi.
Keadaan medan mendekati perkampungan ini agak naik, pada dataran yang tertinggi berkumpullah rumah-rumah adatnya. Seperti semua rumah adat, disinipun menghadap arah Utara. Berhadapan dengan lumbung-lumbung dimana padi disimpan atau sebagai ruang tamu. Hal berhadapan ini menurut keterangan ialah perlambang antara lumbung dan rumah adat sebagai suami dan isteri.
Rumah-rumah adat disini rata-rata masih menggunakan atap bambu. Sekalipun usianya sudah 7 turunan dan mengalami penggantian atap, keadaan rumah adat disini umumnya masih baik. Jumlah rumah adat adalah 9 dan jumlah lumbung 11. Dari junlah ini ada yang bermoncong lebih tinggi, ini merupakan ciri dari rumah adat yang sudah diganti atapnya.
Perkampungan ini cukup bersih menurut ukuran kampong-kampung di Tana Toraja. Karena hal ini mungkin perkampungan ini jadi sering didatangi wisatawan. Akibatnya dari hal itu timbul pedagang-pedagang yang menjual barang souvenir, umumnya mereka penduduk setempat.
Nama Tempat: Kete.
Nama kampung : Bonoran
Nama Desa : Tikun'na Malenong
Kecamatan : Sanggalangi
Kabupaten : Tana Toraja

Pembahasan Umum
Perkampungan Ke'te letaknya relatif dekat dengan kota Rantepao. Perkampungan ini adalah yang paling terkenal dari sekian banyak perkampungan lain yang dibuka untuk wisatawan. Sekalipun bukan merupakan perkampungan yang besar tapi Ke'te nempunyai keistimewaan. Sebab disini terdapat juga kuburan Batu (gunung batu) yang merupakan batas sebelah dari perkampungan ini. Kuburan ini sekaligus manjadi obyek wisata karena kebetulan letaknya cukup dekat. Batas disebelah Utara ialah sawah yang banyak digenangi air, mungkin merangkap sebagai tempat pembuangan air hujan. Keistimewan lain, diperkampungan ini sudah ada air leiding yang belum tercatat dari mana asalnya. Begitu juga riol - riol di depan rumah yang mungkin dimaksudkan untuk saluran air hujan. Itulah sebabnya mungkin Ke'te keadaannya relatif lebih baik dibandingkan perkampungan yang lain di Tana Toraja. Tanah yang becek atau genangan air tidak kita jumpai disini. Kesannya kehidupan diperkampungan ini lebih sehat.
Jumlah rumah adat disini ada 8 (delapan) disaimping terdapat 14 lumbung yang bentuk atau bahannya bermam- macam, Diperkampungan ini juga terdapat lumbung yang dibuat dari bambu baik itu tiang, dinding, sampai atapnya. Menurut keterangan bentuk ini adalah yang pertama kali diciptakan. Disamping itu terdapat bentuk rumah yang meniru rumah bugis meskipun atapnya memakai bambu.Bentuk-bentuk rumah ini biasanya sudah dilengkapi dengan kamar mandi dan WC,bahkan tempat cuci. Karena sudah menjadi tempat yang sering dikunjungi wisatawan di Ke'te dibangun bentuk asal rumah adat suku Toraja (Lantang Talumio dan Pandoko Dena).
Bentuk asal ini dibuat untuk memberikan penerangan tentang asal usul rumah adat Toraja.Perkampungan Ke'te adalah contoh suasana perkampungan yang disesuaikan dengan keinginan wisatawan.Sehingga ada beberapa ciri yang terpaksa dikorbankan, padahal ciri itu merupakan kepribadian rumah adat.
Sebagaimana diterangkan diatas, di Ke'te ini terdapat lumbung yang keseluruhan konstruksinya menggunakan materi bambu. Ini adalah bentuk pertama lumbung setelah mengalami pemisahan dari rumah induk: (Tongkonan). Adapun urutannya secara teliti adalah sebagai berikut:
1. P a l i k u lumbung yang terletak dibawah rumah adat.
2. Lumbung Bambu terpisah dari rumah adat menggunakan 4 tiang.
3. Lumbung kayu terpisah, bertiang 4 dan tak diukir.
4. Lumbung kayu terpisah, bertiang 4 dan mulai diukir.
5. Lumbung kayu terpisah, bertiang 6 dan merupakan lumbung yang umum dibikin baik yang diukir ataupun yang tidak diukir.
6. Lumbung kayu terpisah, bertiang antara 8 sampai dengan 12, merupakan
lumbung-lumbung yang mengikuti perkembangan.


KESIMPULAN.
RUMAH ADAT DAN LUMBUNG.,
Tata Letak.
-Kelompok rumah adat/perkampungan biasanya terletak diluar kota, terpencil dari keramaian umum seperti di lereng gunung.
-Arah rumah adat selalu berhadapan dengan lumbung padi, sebab keduanya melambangkan suami dan isteri.
-Rumah adat selalu menghadap arah Utara dan Lumbung arah Selatan. Hal ini berhubungan dengan adat suku Toraja yang mempertimbangkan arah Utara sebagai kehidupan dan arah Selatan sebagai Lambang Kematian.
-Kelompok rumah adat biasanya berjumlah antara 10 - 15 pasang rumah adat +lumbung. ,

Struktur
-Secara keseluruhan rumah adat atau lumbung merupakan suatu kesatuan struktur. Maksudnya antara bagian tiang dinding dan atap merupakan satu kesatuan konstruksi, oleh karenanya bangunan ini tahan gempa dalam arti kata tidak runtuh, tetapi hanya mengalami pergeseran perletakkan.

Hubungan elemen-elemennya menggunakan sistim pengikat, tusuk, coak,dan sebagainya. Materi umumnya memakai jenis kayu URU dan bambu, sebab bahan-bahan ini mudah didapat di daerah itu.
Konstruksi pondasi hanya merupakan tempat perletakan yang tidak diikat dan alas yang dipakai ialah batu alam. Perletakan ini hanya berfungsi untuk mencegah turunnya bangunan karena lembeknya tanah.
Tiang tiang mencapai kekakuan dengan bantuan tiang pembantu dan ditusuk oleh balok balok horisontal ( Patolok)
Lantai merupakan bagian yanmg memakai sistim balok induk dan balok anak. penutupnya adalah bambu yang dipecah. Dan dipasang melintang terhadap balok anak.
Perletakan elemen lantai ini dengan memperhitungkan kemungkinan adanya gangguan dari arah kolong.
Dinding mempergunakan sistim hubungan papan dalam arah vertikal yang dijepit oleh papan papan horisontal. Dinding ini diukir dengan maksudperlambangan dan dekorasi.

Rangka atap tidak memakai sistim kuda kuda. Untuk mencapai bentuknyayang menjulang ialah dengan menyambung nok ( kandang pemiring) dengan pangoton dan paramak. Sambungan ini menggunakan sistim ikat (berfungsi batang tarik) dimana ikatan itu memakai rotan. Sambungan nok menusuk balok vertikal ( katorok yang ditahan balok horisontal ( lemba-lemba)). lemba lemba ini menahan gerakan vertikal dengan berpegang kepada sepasang tengkek longa yang berposisi miring vertikal. Dan akhirnya noknya ( kadang pemiring) yang menahan semua beban didukung oleh kolom besar ( tulak somba)

Penutup atap yang menggunakan bambu dapat berumur relatif lebih lama dibandingkan atap atau seng atau sirap, tetapi konsekwensinya berat dan mahal. Penutup atap dari seng/ sirap umumnya dipakai pada rumah adat yang dibangun belakangan.


Bentuk
Bentuk atap yang khas dari rumah adat Toraja terjadi secara tidak langsung dipengaruhi oleh bentuk tanduk kerbau yang menjadi binatang kebanggan suku Toraja. Juga oleh bentuk kapal nenek moyangnya yang terdampar waktu datang pertama kali kesana.
Ekspresi bentuk yang menggunakan atap bambu lebih natural dari pada yang menggunakan seng atau sirap.
Bentuk atap mula mula agak datar noknya dan bagian ujungnya tidak begitu menjulang. Bentuk yang dibuat belakangan umumnya mempunyai ujung yang menjulang tinggi dan ramping.



FASILITAS:

Kamar mandi WC tidak terdapat dalam rumah adat . Dalam perkembangan terakhir kedua unsur itu mulai memasuki kelompok rumah adat, sekalipun dalam bentuk terpisah tetapi agak mengganggu kepribadian rumah adat.

Saluran saluran.

Fasilitas berupa saluran baik berupa saluran air bersih atau air kotor/ hujan tidak ada. Hal ini mengakibatkan terjadinya genangan air tanah menjadi becek serta udara menjadi lembab.

Dapur, terdapat asalnya didalam rumah adat yang berfungsi sebagai pemanas ruangan karena hawa yang dingin. penempatan ini kurang baik apalagi dengan tidak adanya sistim ventilasi yang baik, hal mana tentunya mengganggu kesehatan penghuni.
Gudang untuk menyimpan alatkehidupan berada dirongga atap.

Organisasi ruangan.
Fungsi ruangan umumnya berganda. Organisasinya masih amat sederhana dan antara ruangan dengan ruangan lain tidak disekat secara tegas. Satu satunya cara membedakan fungsi ruangan adalah dengan permainan tinggi rendahnya lantai.
Permainan ini berhubungan erat dengan stratifikasi sosial masyarakat Toraja.

Dikutip dari ;Laporan Kuliah Kerja Toraja 1975
Mahasiswa : Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Ilmu Sosial Universitas Indonesia .
( Agus Adhi, Agus Mulia, Budiono Busyaeri, Saptono,Diniari,Alm.Wahyu Sardono ( Dono warkop),Hedi Nursalin Silaban,Listyo Sumantri, Siti Joko,Julizar Amran Abdi,Adhika Bhayangkari, Ronald Londam Tambun, Budi Adelar Sukada, Haryono,, Djoko Suryono, Andy Widjaja, Sugianto Lohanda,Azrar Hadi, Robert Lawang, Seniwono Hanifa, Prof . Dipl. Ing Suwondo BS, Prof Valerine, SH, Ir. Yan Ciptadi . Peserta tamu: alm. ibu Wancin Suwondo dan Maruto Suwondo)

Ahli Toraja, Stanislaus Sandarupa: